CHENG-HOO: Ketika Kelenteng Berubah Menjadi Mesjid

Masih dalam suasana imlek, ketika mendengar kata imlek di pikiran langsng terlintas sebuah kelenteng bernuansa merah, banyak lampion dan tentunya angpao. Di Surabaya, saya sempat berkunjung ke sebuah kelenteng di daerah Undaan di sebuah kompleks perumahan, dan ada hal yang berbeda dari kelenteng ini, karena aktivitas ibadah yang ada dalam kelenteng ini adalah aktivtas ibadah bagi umat Islam,. Kelenteng ini adalah sebuah masjid yang didirikan oleh warga Tionghoa Muslim Surabaya, yang tetap kental dengan nuansa Tionghoa nya tetapi tidak meninggalkan nuansa Islam nya.

Karena keunikan nya mesjid ini cukup sering dijadikan tempat wisata religi bagi para wisatawan lokal. Bentuknya yang unik dan berbeda dari mesjid pada umumnya membuat mesjid ini ramai dikunjungi wisatawan. Berbeda dengan mesjid pada umumnya, mesjid ini mirip dengan kelenteng yang warnanya banyak di dominasi oleh warna merah yang mencerminkan unsur budaya dari China.

Masjid ini dibangun dengan perpaduan unsur budaya China, budaya Islam dan budaya Jawa sebagai bentuk penghormatan kepada Laksamana asal China yang beragama Islam ketika berdagang, menjalin persahabatan dan berdakwah agama Islam di tanah Jawa.

Suasana Mesjid Cheng-Hoo di malam hari

Mesjid Chenghoo Surabaya adalah mesjid bernuansa Muslim Tionghoa yang berlokasi di Jalan Gading, Ketabang, Genteng, Surabaya atau 1.000 m utara Gedung Balaikota Surabaya atau persis di belakang RS Adi Husada, Undaan.

Masjid ini didirikan atas prakarsa para sesepuh, penasehat, dan juga beserta pengurus Perkumpulan Islam Tionghoa Indonesia (PITI)  pengurus Yayasan Haji Muhammad Cheng Ho Indonesia Jawa Timur serta tokoh masyarakat Tionghoa di Surabaya.

Mesjid ini masih tergolong muda, baru berumur sekitar 11 tahun. Pembangunan masjid ini diawali dengan peletakkan batu pertama 15 Oktober 2001 bertepatan dengan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pembangunannya baru dilaksanakan 10 Maret 2002 dan baru diresmikan pada 13 Oktober 2002.

Keunikan dari mesjid ini ialah bangunan masjid yang menyerupai kelenteng (rumah ibadah umat Tri Dharma). Masjid ini didominasi warna merah, hijau, dan kuning. Ornamennya kental nuansa Tiongkok lama. Pintu masuknya menyerupai bentuk pagoda, terdapat juga relief naga dan patung singa dari lilin dengan lafaz Allah dalam huruf Arab di puncak pagoda. Di sisi kiri bangunan terdapat sebuah beduk sebagai pelengkap bangunan masjid.Selain Surabaya di Pandaan, Pasuruan juga telah ada masjid serupa dengan nama Masjid Cheng Hoo

Lalu mengapa mesjid ini diberi nama mesjid Chenghoo?
Nama masjid ini merupakan bentuk penghormatan pada Cheng Ho,  Laksamana asal Cina yang beragama Islam. Dalam perjalanannya di kawasan Asia Tenggara, Cheng Ho bukan hanya berdagang dan menjalin persahabatan, juga menyebarkan agama Islam.

Pada abad ke 15 pada masa Dinasti Ming (1368-1643) orang-orang Tionghoa dari Yunnan mulai berdatangan untuk menyebarkan agama Islam, terutama di pulau Jawa. Yang kemudian Laksamana Cheng Ho (Admiral Zhang Hee) atau yang lebih dikenal dengan Sam Poo Kong atau Pompu Awang pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan,Semarang. Selain itu dia juga sebagai utusan Kaisar Yung Lo untuk mengunjungi Raja Majapahit yang juga bertujuan untuk menyebarkan agama Islam.

Untuk mengenang perjuangan dan dakwah Laksamana Cheng Hoo dan warga Tionghoa muslim juga ingin memiliki sebuah masjid dengan gaya Tionghoa maka pada tanggal 13 Oktober 2002 diresmikan Masjid dengan arsitektur Tiongkok ini.

Masjid Muhammad Cheng Hoo ini tidak sebesar mesjid pada umumnya, hanya mampu menampung sekitar 200 jama'ah. Masjid Muhammad Cheng Hoo berdiri di atas tanah seluas 21 x 11 meter persegi dengan luas bangunan utama 11 x 9 meter persegi. Masjid Muhammad Cheng Hoo juga memiliki delapan sisi dibagian atas bangunan utama. Ketiga ukuran atau angka itu ada maksudnya. Maknanya adalah angka 11 untuk ukuran Ka'bah saat baru dibangun, angka 9 melambangkan Wali Songo dan angka 8 melambangkan Pat Kwa (keberuntungan/ kejayaan dalam bahasa Tionghoa).

Perpaduan Gaya Tiongkok dan Arab memang menjadi ciri khas masjid ini. Arsitektur Masjid Cheng Ho diilhami Masjid Niu Jie (Ox Street) di Beijing yang dibangun pada tahun 996 Masehi. Gaya Niu Jie tampak pada bagian puncak, atau atap utama, dan mahkota masjid. Selebihnya, hasil perpaduan arsitektur Timur Tengah dan budaya lokal, Jawa. Arsiteknya Ir. Abdul Aziz dari Bojonegoro.

Mesjid ChengHoo di Siang Hari

Pada saat bulan ramadhan, mesjid Chenghoo banyak dikunjungi para jamaah yang ingin beribadah magrib sambil berbuka puasa. Mesjid Chenghoo menyiadakan hingga 500 kupon berbuka setiap harinya untuk hidangan berbuka puasa jamaah mesjid. Pengurus mesjid yang merupakan warga keturunan Tionghoapun juga turut andil membagikan hidangan.


Para jamaah yang ingin melanjutkan sholat tarawih disini  juga diperkenankan. Pada malam hari, mesjid Chenghoo terlihat lebih menarik, karena ornament khas budaya Tionghoa akan terlihat lebih kental dengan lampu warna-warni yang menghiasi bagian luar mesjid.

Sholat Jumat di Mesjid ChengHoo, sampai halaman depan mesjid

 Untuk para wisatawan Muslim yang sedang berada di Surabaya, disarankan untuk mampir sejenak dan menikmati sensasi beribadah yang berbeda namun tetap khusyuk.


Travel Seeker, 2014
@justvannesa

0 comments: